Assalamu
‘Alaikum Wr. Wb.
Puji
Syukur ke hadirat Allah. Selawat dan salam kepada Rasulullah.
Apa
kabar? Kali ini saya akan memperkenalkan tentang fiksi, bagaimana merancang dan
membentuknya, dan bagaimana menemukan keindahan-keindahan di dalamnya. Tapi sebelum
itu, izinkan saya untuk berfalsafah.
Kita
mengindra dunia, karena itulah kita mengenal realita. Tapi kita tidak hanya
mengindra apa yang nyata berada di luar sana. Kita juga dapat mengindra hal-hal
yang tidak benar-benar ada di dunia ini. Itulah sebabnya kita bermimpi. Dan
itulah sebabnya kita mengenal yang namanya fiksi.
Fiksi
yang dimaksud di sini tentu saja adalah sastra berbentuk prosa.
T
: Emangnya ada ya, sastra selain bentuk prosa, den?
J
:Tentu saja. Puisi, syair, dan sajak adalah sastra dalam bentuknya yang paling
murni. Drama dan teater juga adalah sastra. Bahkan di zaman modern ini, media
hiburan seperti film dan komik pun, seringkali juga dianggap sebagai karya
sastra.
Duh,
kebiasaan nih, jadi ngalor-ngidul. Lanjut.
Kita
mengenal fiksi dalam bermacam bentuk. Tapi secara garis besar, kita bisa
simpulkan menjadi dua bentuk fiksi yang paling sering kita temui, adalah cerita
pendek dan novel. Ada bentuk-bentuk lain, misal, cerita bersambung, roman,
balada, dan lain-lain, tetapi pembatasannya sangat-sangat kabur dan hampir
tidak bisa dibedakan. Untuk sekarang, patokan kita hanyalah dua bentuk di atas
saja, ya!
Fiksi
berasal dari mimpi (Oatley: 25). Kok bisa? Ya bisa dong. Ingat tidak, sewaktu
kecil, kita bermain rumah-rumahan? Nanti ada yang jadi bapaknya, trus ada yang
jadi ibunya, dan ada yang jadi anaknya. Mungkin juga bakalan ada yang jadi
malingnya, atau jadi kecoak yang kerjanya cuma ditepok ama yang punya rumah.
Nah itulah fiksi. Fiksi berasal dari imajinasi kita tentang dunia. Tentang mimpi-mimpi
dan harapan. Ketika bermain tadi, kita bermain peran dalam dunia imajinasi kita
sendiri, terselubung dari dunia luar, dari dunia nyata.
Saat
kita membaca sebuah karya fiksi, kita mengimajinasikan dunia dalam karya itu ke
dalam ruang mental kita. Kita membuat dunia itu menjadi nyata di dalam batin
kita, dan pada akhirnya, memposisikan diri kita di posisi para tokoh di dunia
itu. Jadi, pada dasarnya fiksi itu sama seperti main rumah-rumahan, adalah
sebuah kegiatan kognitif-imajinatif yang membentuk dunia dalam dunia.
Oke,
sekarang menuju perbincangan baru.
Tidak
semua fiksi memiliki keindahan sastra. Fiksi adalah imajinasi, sedangkan sastra
adalah kreasi. Sastra dibentuk dengan cermat dan serius, dengan penuh pemikiran
dan emosi. Tidak semua karya imajinatif seperti itu. Sastra diperuntukan untuk
menggerakkan dan menyentuh jiwa orang yang membacanya. Banyak karya (cerita dan
sebagainya), meski populer, tidak memiliki nilai sastra sama sekali.
Popularitas tidak mencerminkan kualitas (Nurgiyantoro: 16-22). Cerita lahir
untuk menarik orang kepadanya dan menghiburnya, sedangkan sastra lahir untuk
menggerakkan orang dan mengubahnya.
Jadi,
mari kita menjernihkan beberapa hal. Fiksi yang akan dikaji nilai keindahannya
oleh banyak kritikus adalah fiksi yang bernilai sastra. Itu satu. Kedua, atas
dasar itu juga kita harus menilai sebuah karya, juga ketika kita sendiri
membentuk sebuah karya. Dasar ini juga yang saya hadirkan dalam tulisan saya
ini. Ketiga dan terakhir, saya belum ngeteh dan ngemil nih. Jadi, mari (kepada
diri sendiri) ngeteh dan ngemil sebelum melanjutkan perbincangan kita.
Wah,
harumnya teh ini. Eh tunggu dulu, hidungku kan gak bisa membau (dengan baik dan
benar). Weleh-weleh.
Cukup.
Sekarang waktunya kita menengok, alat-alat apa saja sih yang kita butuhkan
untuk membentuk fiksi, juga mengkajinya. Nah berarti, batasannya adalah:
1.
Saya hanya akan membahas fitur-fitur yang membentuk nilai sastra pada karya fiksi. Elemen-elemen dasar dalam karya fiksi seperti plot, tokoh, latar, dan
sebagainya, tidak akan saya bahas. Maaf ya!
2.
Saat saya membahas sebuah alat, saya akan bagi dalam dua sudut pandang, sudut
pandang pembaca dan sudut pandang pengarang.
3.
Ngapain nih ada yang ketiga. Hapus-hapus.
Ayo
kita mulai!
Kesatupaduan
Sastra
adalah seni yang diatur. Setiap bahan dan materi di dalamnya telah terpilih dan
telah tertimbang. Setiap bahan itu mempunyai fungsi yang pasti, tidak keluar
dari keseluruhan. Coba lihat tubuh kita. Bukankah setiap yang ada di tubuh kita
mempunyai perannya masing-masing, dan masing-masing berkontribusi untuk
keseluruhan struktur dan fungsi tubuh kita? Jika satu saja fungsi tercabut, misal
fungsi pencernaan, hal itu akan mengganggu jalan dan efektifitas fungsi yang
lainnya.
Begitu
juga sastra. Setiap unsur melekat satu sama lain, tak terpisahkan dan tak
tergantikan. Ini adalah dasar dalam kesusastraan, juga dasar bagi kritik sastra
strukturalisme (Kamil: xxv). Jika satu saja unsur dihilangkan atau diubah, akan
memengaruhi dan mengubah keseluruhan karya itu sebagai sebuah sastra. Kalau
dipaksakan, karya tersebut akan pincang dan berlubang.
Dengan
bersama yang lain, kita menjadi kuat. Dengan bersama yang lain, kita mampu
melakukan hal yang lebih besar dari akumulasi laku yang kita kerjakan
sendiri-sendiri. Di sastra juga seperti itu. Efek emosi dan estetika dalam
suatu karya akan jadi lebih dalam dan kuat, karena didukung dan dikuatkan oleh
bagian lain dari karya tersebut.
Sudut
pandang pembaca
Ketika
kita meneliti suatu karya, kita harus selalu melihat pada fungsi keseluruhan.
Kalau perlu, buat catatan pada setiap yang kalian temui, pada setiap emosi yang
kalian rasakan pada bagian tertentu, dan bagaimana efeknya di bagian yang lain.
Kalian harus siap untuk setiap kejutan. Bisa jadi sesuatu yang terlihat tidak
penting, malah jadi sangat signifikan untuk fungsi keseluruhan. Pertanyakan
segala sesuatu, buat asumsi sendiri, kemudian bandingkan dengan jawaban yang
sebenarnya.
Misalnya,
kisah tentang seorang yang tidak pernah beruntung dalam hidupnya. Kemudian
orang itu bergumam sendiri tentang hidupnya yang malang. Nah gumamannya ini
bisa jadi merupakan petunjuk akan hal yang akan terjadi. Terus jeli dan jangan
tertipu. Tebaklah ironi apa yang menanti orang yang bergumam tentang hidupnya
ini. Mungkinkah ada sebuah rencana besar dari Tuhan untuk dirinya? Atau mungkin
inilah tragedi dunia, yang dijelaskan melalui kata-kata orang ini tadi?
Pokoknya, catat semua yang terpikir oleh kalian tentang apa makna gumamannya tadi.
Asumsi kalian bisa jadi benar, bisa jadi salah. Jika sampai akhir kalian tidak
menemukan makna dibentuknya adegan tadi, maka karya tersebut mempunyai lubang.
Kalian bisa melakukan kritik atas bagian yang berlubang tadi, sesuatu yang
hadir tanpa mewakili makna apapun.
Hal
ini juga berlaku untuk semua yang ada di dalam sastra. Tanyakan kenapa seorang
tokoh berperilaku seperti ini. Tanyakan juga kenapa tempat suatu kejadian
berada di tempat yang demikian. Tanyakan, buat catatan, dan bandingkan dengan
yang sudah kalian temui di bagian yang lain.
Sudut
pandang pengarang
Nah,
kalau kalian sendiri yang ingin membentuk rancangan suatu karya sastra, selalu
ingatlah akan hal-hal ini. Pertama, kalian harus selalu melihat pada
garis besar, pada tema pemersatu, pada emosi sentral yang ingin kalian sajikan,
dan jangan pernah keluar dari itu. Jangan pernah tergoda untuk menambahkan
hal-hal di luar yang sudah kalian rencanakan. Beneran deh, itu hanya akan
merusak karya kalian. Pikirkan matang-matang apa saja yang penting, dan
bagaimana itu disajikan. Gunakan alat bantu, semisal catatan, untuk
mengingatkan kalian agar tidak keluar jalur.
T
: Beneran gak boleh ya, memiliki lebih dari satu tema dan emosi dalam membentuk
sastra?
J
: Boleh saja. Tapi tetap harus ada tema dan emosi sentral, dan tema dan emosi
yang lain tidak boleh sampai mendominasi dan mengimbangi tema dan emosi utama
tadi. Kalau itu terjadi, karya kalian akan pecah jadi beberapa bagian. Malah,
satu bagian akan bisa dibaca dan dimengerti tanpa membaca dan mengerti bagian
yang lain, dan itu akan mengurangi kesatupaduan suatu karya.
Kedua, selalu perkuat
karya kalian. Gunakan perekat yang kuat untuk saling menghubungkan
bagian-bagian dalam karya yang kalian buat, jangan merekatkan pake nasi (halah,
apa bae dah ah!). Bagian-bagian yang penting dalam karya kalian, harus kalian
tambahkan pendukung dan penopang agar kuat. Kalau bisa, bagian pendukung itu
kalian jadikan bagian yang penting juga, dan didukung oleh bagian penting yang
lain.
Misalnya,
kita buat cerita tentang anak miskin yang ingin menjadi seorang dokter. Tema
utamanya berarti, “Apapun tantangan yang datang, kita harus selalu tegar dan
tidak menyerah dalam menghadapinya”. Untuk itu, kita butuh tokoh utama yang
tegar, pantang menyerah, dan bangga ketika berhasil dengan kemampuannya
sendiri. Setelah itu, kita rincikan bagaimana sang tokoh utama mempunyai
kepribadian seperti itu. Tentunya akan ada keadaan dan situasi tertentu yang
membentuk kepribadian sang tokoh utama. Sang tokoh utama kita tempatkan pada
situasi masyarakat yang lembam. Masyarakat di tempat dia tinggal tidak pernah
mau berusaha lebih keras untuk menggapai apa yang mereka inginkan. Hal itu
bukan sebuah dosa, tetapi sang tokoh utama sangat membenci hal itu dan ingin
mengubahnya.
Lalu
kita tambahkan bahwa sang tokoh utama mempunyai ayah yang galak dan tegas, juga
mempunyai prinsip yang tidak boleh ditentang. Ayahnya sangat menentang
keinginan sang anak untuk pergi dari desa dan belajar menjadi dokter. Ini
merupakan halangan bagi cita-cita sang anak dan akan menyebabkan konflik emosi
baik bagi sang anak maupun ayahnya. Nah, bagian pendukung seperti ini, buatlah
juga menjadi bagian yang penting bagi perkembangan plot. Misalnya, ayah sang
anak akhirnya setuju, karena diingatkan oleh situasi sang anak, akan cita-cita
dan harapannya sendiri, dan bagaimana sakitnya ketika harapannya dipupus oleh
kenyataan dan realita sosial yang menghalangi.
Ini
akan menguatkan cerita secara keseluruhan. Plot akan dikuatkan oleh penokohan
sang tokoh utama yang kental. Penokohan sang tokoh utama juga dikuatkan oleh
latar dan situasi. Latar dan situasi juga menguatkan dan dikuatkan oleh plot
lain, yaitu masa lalu sang ayah. Lalu plot sang ayah ini juga turut menguatkan
plot utama, juga menguatkan penokohan sang tokoh utama tadi. Dengan begitu
karya kalian akan jadi sangat kuat dan dalam. Coba saja kalau ada orang yang
berani mengganti atau mengubah satu bagian saja dari cerita di atas, mereka
akan kesulitan karena harus merombak dan merumuskan semuanya dari awal lagi.
Semua bagian sudah sangat melekat satu sama lain, sehingga tak terpisahkan.
Selanjutnya
bisa kalian terus tambahkan perekat pada semua bagian cerita kalian. Tambahkan
perekat, hubungkan dengan bagian yang lain, jadikan bagian plot yang penting,
tambahkan perekat lagi, dan seterusnya. Kalian pasti bisa!
Lalu
saya harus ingatkan lagi agar terus melihat ke garis besar, sehingga kalian
tidak pernah keluar jalur.
Emosi
Sekarang
kita akan berbicara tentang emosi dalam fiksi. Emosi adalah substansi sentral
dalam semua sastra, juga dalam semua fiksi. Ketika membaca sebuah karya seni
dan sastra, kita menjelajahi medan emosi yang unik, yang biasanya tidak kita
temui dalam kehidupan nyata. Sastra mampu menghadirkan emosi-emosi yang dalam
dan sulit. Tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa seni dan sastra pada
dasarnya adalah penjelajahan terhadap emosi (Oatley: 117-118, 129). Tentunya
emosi-emosi ini dimediasikan kepada kita melalui bahasa, dan diberikan bentuk
dan ditulis dalam media semisal buku.
Sudut
pandang pembaca
Kita
membaca sebuah karya sastra untuk mencecap emosi di dalamnya. Jadi, jangan
terburu-buru. Berhentilah sejenak untuk meresapi tiap emosi yang kalian temui.
Kenali jenis apa emosi itu. Bandingkan juga, mungkin dengan pengalaman kalian
sendiri. Jika itu kalian lakukan, rasa emosi yang kalian rasakan akan lebih
menusuk. Rasakan dan resapi.
Kemudian,
seperti di atas tadi, buat catatan tentang emosi yang kalian rasakan di suatu
titik tertentu. Jika ada suatu keadaan, yang seharusnya kalian merasakan suatu
emosi tertentu, tetapi ternyata emosi itu tidak datang atau tidak cukup kuat,
pertanyakan kenapa bisa seperti itu. Apa yang kurang. Lubang apa yang harus
ditambal. Lalu jika ternyata emosi itu hadir di tempat lain, kalian harus melihat
lagi ke belakang, dan bandingkan dengan saat emosi itu tidak bisa hadir di hati
kalian. Apakah pengarang sengaja melakukannya? Kalian juga harus pertanyakan
hal itu. Rasakan, catat, dan bandingkan.
Kemudian
bandingkan juga dengan tema utama dalam karya yang kalian baca. Apakah emosi
yang dihadirkan sudah sesuai dengan tema yang ditekankan? Apakah keduanya sudah
mendukung satu sama lain? Kalau tidak, pertanyakan kenapa.
Sudut
pandang pengarang
Ada
beberapa trik yang bisa kalian gunakan untuk menghadirkan emosi dalam karya
kalian.
Pertama, gunakan bahasa
yang tidak biasa.
Sastra
adalah distorsi keindahan dari bahasa. Sastra mempergunakan penyelewengan dalam
berbahasa untuk menampilkan keindahan. Karena itu bahasa yang digunakan dalam
sastra adalah bahasa yang aneh-aneh. Perlu diketahui, bahwa penggunaan bahasa
yang aneh ini akan lebih mengalihkan perhatian orang kepadanya daripada
penggunaan bahasa yang biasa. Orang yang membaca sastra menjadi lebih menyadari
apa yang dibacanya, karena bahasa yang dipakai bukan bahasa yang biasa dia
gunakan dalam percakapan sehari-hari. Hal ini adalah prinsip dasar dalam
bersastra, yaitu membuat perhatian pembaca lebih teralihkan kepada apa yang
hendak disampaikan (Oatley: 74).
Saat
hendak menyampaikan emosi tertentu melalui sastra, terlebih dahulu kita harus
siasati agar perhatian pembaca lebih teralihkan. Karena jika seseorang membaca
kisah dengan perhatian setengah-setengah, tanpa konsentrasi tinggi, dia tidak
akan menyerap semua makna dan emosi dari apa yang dibacanya.
Maka
dari itu, selalu gunakan bahasa yang tidak biasa di setiap titik yang ingin
kalian tekankan. Misalnya, daripada menggunakan kata-kata “sampai akhir hayat”
yang sudah terlalu biasa, mending gunakan kata-kata “hingga zaman tak lagi
berdetak” yang jarang orang gunakan.
Kedua, gunakan
pembandingan dan persandingan.
Segala
sesuatu itu mendapat nilainya dalam hubungannya dengan yang lain. Kita dapat
mengingat sesuatu dengan lebih jelas, karena kita mengingat polanya kemudian
membandingkan dengan pola sesuatu yang lain, baik yang sama maupun bertentangan
dengannya. Ini adalah dasar dalam teori nilai De Saussure. Dan hal ini juga
sangat bisa diterapkan pada pembentukan karya sastra.
Coba
bayangkan ada sepuluh anak, sembilan berbadan kurus, dan satu anak berbadan
gemuk. Kira-kira, anak yang gemuk ini gampang diingat atau tidak? Tentu saja
dia akan jadi anak yang paling gampang diingat, karena dia dinilai dan
ditimbang dalam hubungannya dengan sembilan anak yang lain yang lebih kurus
dari dia. Sembilan anak yang lain akan lebih sulit diingat, karena mereka
memiliki pola yang sama yang tidak kontras satu sama lain.
Kita
mengenal kata “keadilan” dan memahami batasan-batasannya, karena kita
membandingkan dengan lawan katanya, yaitu “ketidakadilan”. Kita memberi pola
pada pengertian yang ingin kita pahami, dan membandingkannya dengan pola pada
pengertian yang lain. Kita memahami dunia, karena kita memahami
hubungan-hubungan antara unsur-unsur di dalamnya.
Cukup.
Sekarang saatnya menerapkan teori nilai ini pada pembentukan karya sastra. Coba
kita buat sebuah cerita, tentang seorang kakak laki-laki yang sangat sayang
pada adik perempuannya. Sang kakak ini rela mengorbankan apa saja dan rela
melakukan apa saja, demi kebahagiaan adiknya. Bagaimana cara kita membuat
pembaca paham akan emosi sang kakak dan rasa sayangnya yang dalam kepada sang
adik?
Buatlah
situasi agar rasa kasih sayang ini terlihat jelas dan kontras. Misalnya, kedua
kakak beradik ini kehilangan ibu kandung mereka. Mereka kemudian pindah ke
rumah ayah mereka, yang telah memiliki istri yang lain. Ibu tiri mereka dan
anak-anaknya sangat membenci kedua kakak beradik ini, karena bagaimanapun
mereka ini adalah anak dari “wanita yang lain”. Sang kakak menjadi sangat
menyayangi adiknya, karena memang tidak ada lagi yang memberikan kasih sayang
kepada sang adik. Pembaca juga menjadi paham dan mengerti akan besarnya kasih
sayang itu, karena pembaca melihat betapa buruknya perlakuan keluarga sang ibu
tiri.
Tambahkan
hal-hal lain, misalnya, gambarkan sang kakak sebagai orang yang sangat jahat,
kecuali terhadap adiknya. Lalu buat adegan di mana sang adik berada dalam
keadaan terjepit dan butuh bantuan. Demi adiknya, sang kakak rela menundukkan
kepalanya di hadapan orang yang sangat dia benci. Sang kakak menanggalkan harga
dirinya yang tinggi, mengiba dan memelas, demi memenuhi kebutuhan sang adik.
Terus
buat situasi-situasi lain, agar emosi sentral yang ingin kalian hadirkan
menjadi terlihat jelas dan mencolok.
Ketiga, ambil emosi
dari memori.
Tahukah
kalian, ketika kita membaca sebuah kisah, secara tidak sadar kita selalu
membandingkan apa yang kita baca dengan apa yang ada di ingatan kita. Karena
itulah, terkadang kita bisa menebak arah jalan cerita. Hal ini dikarenakan,
misalnya, kejadian dalam kisah itu mirip dengan kejadian yang pernah kita
alami, atau mungkin mirip dengan kejadian pada karya lain yang pernah kita baca.
Kalau
kalian membuat sebuah situasi yang membangkitkan emosi, buatlah situasi itu di
tempat yang agak jauh dari tempat di mana emosi itu harus hadir. Dengan begitu,
pembaca jadi terpaksa secara aktif “mengambil” situasi pembangkit emosi itu
dari ingatan mereka. Emosi itu menjadi seperti kenangan, bukan hal yang baru
saja mereka baca. Meskipun, bisa saja situasi pembangkit emosi itu baru saja
dibaca beberapa jam yang lalu.
Meski
baru dibaca beberapa jam, persepsi kita tentang aliran waktu di dunia fiksi
benar-benar menipu. Ini membuat kita berada dalam keadaan “hampir seperti
kenangan” (Oatley: 78-79). Ini sangat sulit dijelaskan dengan kata-kata. Yang
jelas, emosi yang hadir dengan cara mengambil pemicu emosi itu dari ingatan,
adalah emosi yang sangat kuat efeknya. Kalian harus mengalami sendiri keadaan
ini untuk memahami, karena saya sendiri kesulitan untuk bisa menjelaskannya dengan
kata-kata.
Sekian
untuk trik yang bisa kalian gunakan untuk membangkitkan emosi pada karya
sastra. Kalau gak salah tadi saya hitung ada tiga cara, coba deh lihat lagi di
atas. Nah trik-trik ini bisa kalian gabungkan dan kombinasikan sesuai kondisi dan
tujuan kalian ketika membuat karya sastra.
Simbol
T
: Apaan tuh simbol? Yang pedes-pedes yang dari cabe itu ya?
J
: Itu mah sambel.
Simbol,
atau lambang, atau tanda, adalah segala sesuatu yang mewakili atau merujuk sesuatu
yang lain. Contoh: timbangan adalah simbol keadilan, garuda adalah lambang
pancasila, menggigil adalah tanda orang kedinginan, dan sebagainya. Simbol dan
teman-temannya ini bukan sesuatu yang mereka wakili atau mereka rujuk. Mereka
ada untuk mewakili sesuatu yang lain, jadi sudah pasti wujud mereka berbeda
dengan apa yang mereka wakili.
Bahasa
yang kita gunakan juga merupakan sistem tanda. Kok bisa? Ya bisa dong. Coba deh
lihat pada contoh berikut. Kata “meja” misalnya, merujuk pada meja, sebuah
benda datar tempat menaruh barang yang mempunyai kaki sebagai penopangnya.
Apakah kata “meja” itu sama dengan meja? Tentu tidak. Karena kata “meja”
hanyalah sebuah kata, bukan berbentuk materi dan bukan merupakan benda konkret.
Kata “meja” mewakili sesuatu yang lain yang bukan dirinya, yaitu meja. Karena
itu, bahasa merupakan sistem tanda, karena mewakili sesuatu yang lain.
Ada
sebuah disiplin ilmu yang sangat rumit mengenai tanda, yaitu ilmu semiotika.
Saya tidak akan membahas hal itu di sini, karena nanti bakalan panjang banget.
Kalian cukup tahu aja namanya, nanti bisa kalian gali sendiri ilmu tersebut.
Sekarang
kembali ke pembahasan sambel, eh salah, simbol maksudnya. Manusia itu
benar-benar makhluk simbol. Manusia tuh sangat kecanduan dan ketergantungan ama
yang namanya simbol. Manusia hidup dengan simbol, dan memuja-mujanya bahkan
melebihi hal yang diacu oleh simbol itu. Manusia mampu memanipulasi
simbol-simbol, mengubah stimulus dari lingkungan di luar dirinya menjadi
simbol-simbol, dan mengkomunikasikan simbol-simbol itu kepada manusia lain.
Itulah sebabnya manusia disebut homo semioticus, artinya manusia tanda
(Sobur: 13, 164-165).
Dikarenakan
manusia sangat sensitif terhadap simbol, maka manusia akan lebih menyadari dan
menghargai penggunaan sesuatu yang bersifat simbolis, daripada sesuatu yang
tidak bersifat simbolis. Sekarang kita terapkan hal ini pada pengkajian dan
pembentukan fiksi.
Sudut
pandang pembaca
Ini
bakalan lebih sulit, tapi cobalah untuk mengikuti pelan-pelan. Semua fiksi
ditulis dalam simbol yang mewakili suatu makna. Ini terjadi pada setiap
tingkat. Kata-kata merupakan simbol, yang mewakili makna tertentu. Kalimat juga
merupakan simbol, yang mewakili kelompok makna. Paragraf, bab, dan bahkan keseluruhan
fiksi juga merupakan simbol, masing-masing mewakili makna pada tingkatan yang
berbeda.
Lebih
lanjut lagi, plot, tokoh, latar, situasi, kejadian, dan segalanya di dalam
fiksi, bisa jadi juga merupakan simbol yang merujuk pada sesuatu yang lain. Hal
yang dirujuk oleh simbol-simbol abstrak ini bisa merupakan elemen internal di
dalam fiksi itu sendiri, bisa juga elemen eksternal di luar fiksi tersebut.
Seorang
tokoh dalam suatu fiksi, misalnya, bisa jadi merupakan simbol seorang guru.
Guru tidak mesti seseorang yang berprofesi sebagai guru. Kalau tokoh yang
sedang kita bicarakan ini, selalu mengajarkan dan menyarankan hal-hal yang baik,
tokoh ini bisa saja dianggap orang-orang di sekitarnya sebagai seorang guru.
Meski tokoh ini bukan berprofesi sebagai guru, tapi tokoh ini adalah simbol
seorang guru.
Sebuah
plot, misalnya lagi, bisa jadi adalah simbol dalam hal kemiripannya dengan
sebuah peristiwa yang pernah benar-benar terjadi di dunia nyata. Mirip di sini
bukan berarti mirip rinci kejadiannya, tetapi mirip dalam pola dan sebab
akibatnya. Pengarang mungkin sengaja membuat pola plot di karyanya mirip dengan
kejadian nyata, sebagai kritik atas kejadian nyata itu yang tidak disukainya.
Atau, bisa juga disengaja karena kejadian nyata itu adalah kejadian yang patut
dicontoh, dan pengarang ingin lebih menekankan hal ini kepada pembaca melalui
karyanya.
Ketika
mengkaji sebuah karya sastra, kita harus jeli melihat simbol-simbol tak
terlihat di dalamnya. Simbol-simbol ini mempunyai makna tambahan selain makna
yang terlihat di luar. Menemukan dan menghubungkan simbol-simbol ini dengan
maknanya adalah pekerjaan sulit. Kalian harus lebih cermat dan sabar.
Sudut
pandang pengarang
Gak
terlalu berbeda dengan sudut pandang pembaca, cuma berarti dibalik saja.
Buatlah sebanyak mungkin hal dalam karya kalian sebagai simbol, sehingga
pembaca akan bisa lebih menghargainya. Sesuatu yang bersifat simbolis biasanya
akan terasa memiliki kebesaran dibandingkan sesuatu yang tidak bersifat
simbolis.
Kalau
kalian ingin menyampaikan tema tertentu, misalnya, buatlah kejadian-kejadian
yang menyimbolkan tema itu. Buat juga tokoh yang kehidupan dan perbuatannya
menyimbolkan tema itu. Bisa juga kalian tambahkan latar dan situasi sosial
untuk lebih menekankan simbolisasi tema yang tadi kalian ingin ungkapkan.
Sebagai
contoh, coba kita tentukan sebuah tema, bahwa kita mesti melawan penindasan,
apapun bentuknya dan siapapun yang melakukannya. Wujudkan seorang tokoh utama
yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Kita buat penokohan tokoh ini mencolok
dan kontras dengan menempatkannya dalam situasi masyarakat di mana yang kuat
selalu menindas yang lemah.
Bahkan
ketika dunia di sekitarnya begitu menyeleweng, sang tokoh utama tetap teguh
pada prinsip-prinsipnya. Sang tokoh utama terus berjuang, dengan caranya
sendiri, untuk melawan penindasan dan ketidakadilan di sekitarnya. Dia
melakukan gerakan-gerakan bawah tanah, dan membentuk organisasi anti-pemerintah
guna memberontak terhadap sistem pemerintah yang sangat lalim itu. Meski di
akhir kisah sang tokoh utama itu tertangkap dan dihukum mati, tapi dia telah
menjadi simbol perjuangan melawan penindasan, dan menginspirasi banyak orang untuk
mengikuti jejaknya.
Setelah
plot dan tokoh utama sudah menyimbolkan tema, kita tambahkan lagi beberapa
simbol. Misalnya, buat kejadian singkat tentang seorang kakek tua yang memoles
perabot mewah milik majikannya. Kejadian ini menyimbolkan sebuah kenyataan
pahit, bahwa segala kemewahan yang ada di dunia dibentuk dari darah dan air
mata begitu banyak rakyat miskin. Orang-orang miskin diperah hingga kering, dan
hasilnya adalah barang-barang mewah di rumah orang-orang kaya.
Setelah
itu kalian bisa kreasikan sendiri sesuka hati kalian. Jangan lupa untuk juga
untuk mengkombinasikan dengan unsur kesatupaduan dan emosi yang di atas sudah
kita bahas.
Mengkaji
fiksi sangat menguras mental, mengarangnya lebih-lebih lagi. Ketika kita
membaca fiksi, kita seakan mengalami perjalanan ke alam mimpi. Tapi mimpi itu
adalah mimpi orang lain. Kita sendiri juga bisa bermimpi dan mewujudkannya
dalam sebuah karya, sehingga orang lain bisa mengalami mimpi yang kita impikan.
Pelajarilah dengan melakukan. Semakin banyak kalian mengkaji dan mengarang
fiksi, kalian akan semakin baik melakukannya. Barangkali kalian akan bisa
menemukan metode kalian sendiri.
Sekian,
semoga kita bertemu lagi di lain kesempatan.
Wassalamu
‘Alaikum Wr. Wb.
Sumber:
Alex Sobur. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA.
Burhan Nurgiyantoro. 2012. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Oatley,
Keith. 2011. Such Stuff as Dreams: the Psychology of Fiction. United
Kingdom: Wiley-Blackwell.
Sukron Kamil. 2009. Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.