Rabu, 24 Februari 2016

Fiksi dan Pengkajian Fiksi



Assalamu ‘Alaikum Wr. Wb.

Puji Syukur ke hadirat Allah. Selawat dan salam kepada Rasulullah.
Apa kabar? Kali ini saya akan memperkenalkan tentang fiksi, bagaimana merancang dan membentuknya, dan bagaimana menemukan keindahan-keindahan di dalamnya. Tapi sebelum itu, izinkan saya untuk berfalsafah.
Kita mengindra dunia, karena itulah kita mengenal realita. Tapi kita tidak hanya mengindra apa yang nyata berada di luar sana. Kita juga dapat mengindra hal-hal yang tidak benar-benar ada di dunia ini. Itulah sebabnya kita bermimpi. Dan itulah sebabnya kita mengenal yang namanya fiksi.
Fiksi yang dimaksud di sini tentu saja adalah sastra berbentuk prosa.
T : Emangnya ada ya, sastra selain bentuk prosa, den?
J :Tentu saja. Puisi, syair, dan sajak adalah sastra dalam bentuknya yang paling murni. Drama dan teater juga adalah sastra. Bahkan di zaman modern ini, media hiburan seperti film dan komik pun, seringkali juga dianggap sebagai karya sastra.
Duh, kebiasaan nih, jadi ngalor-ngidul. Lanjut.
Kita mengenal fiksi dalam bermacam bentuk. Tapi secara garis besar, kita bisa simpulkan menjadi dua bentuk fiksi yang paling sering kita temui, adalah cerita pendek dan novel. Ada bentuk-bentuk lain, misal, cerita bersambung, roman, balada, dan lain-lain, tetapi pembatasannya sangat-sangat kabur dan hampir tidak bisa dibedakan. Untuk sekarang, patokan kita hanyalah dua bentuk di atas saja, ya!
Fiksi berasal dari mimpi (Oatley: 25). Kok bisa? Ya bisa dong. Ingat tidak, sewaktu kecil, kita bermain rumah-rumahan? Nanti ada yang jadi bapaknya, trus ada yang jadi ibunya, dan ada yang jadi anaknya. Mungkin juga bakalan ada yang jadi malingnya, atau jadi kecoak yang kerjanya cuma ditepok ama yang punya rumah. Nah itulah fiksi. Fiksi berasal dari imajinasi kita tentang dunia. Tentang mimpi-mimpi dan harapan. Ketika bermain tadi, kita bermain peran dalam dunia imajinasi kita sendiri, terselubung dari dunia luar, dari dunia nyata.
Saat kita membaca sebuah karya fiksi, kita mengimajinasikan dunia dalam karya itu ke dalam ruang mental kita. Kita membuat dunia itu menjadi nyata di dalam batin kita, dan pada akhirnya, memposisikan diri kita di posisi para tokoh di dunia itu. Jadi, pada dasarnya fiksi itu sama seperti main rumah-rumahan, adalah sebuah kegiatan kognitif-imajinatif yang membentuk dunia dalam dunia.
Oke, sekarang menuju perbincangan baru.
Tidak semua fiksi memiliki keindahan sastra. Fiksi adalah imajinasi, sedangkan sastra adalah kreasi. Sastra dibentuk dengan cermat dan serius, dengan penuh pemikiran dan emosi. Tidak semua karya imajinatif seperti itu. Sastra diperuntukan untuk menggerakkan dan menyentuh jiwa orang yang membacanya. Banyak karya (cerita dan sebagainya), meski populer, tidak memiliki nilai sastra sama sekali. Popularitas tidak mencerminkan kualitas (Nurgiyantoro: 16-22). Cerita lahir untuk menarik orang kepadanya dan menghiburnya, sedangkan sastra lahir untuk menggerakkan orang dan mengubahnya.
Jadi, mari kita menjernihkan beberapa hal. Fiksi yang akan dikaji nilai keindahannya oleh banyak kritikus adalah fiksi yang bernilai sastra. Itu satu. Kedua, atas dasar itu juga kita harus menilai sebuah karya, juga ketika kita sendiri membentuk sebuah karya. Dasar ini juga yang saya hadirkan dalam tulisan saya ini. Ketiga dan terakhir, saya belum ngeteh dan ngemil nih. Jadi, mari (kepada diri sendiri) ngeteh dan ngemil sebelum melanjutkan perbincangan kita.
Wah, harumnya teh ini. Eh tunggu dulu, hidungku kan gak bisa membau (dengan baik dan benar). Weleh-weleh.
Cukup. Sekarang waktunya kita menengok, alat-alat apa saja sih yang kita butuhkan untuk membentuk fiksi, juga mengkajinya. Nah berarti, batasannya adalah:
1. Saya hanya akan membahas fitur-fitur yang membentuk nilai sastra pada karya fiksi. Elemen-elemen dasar dalam karya fiksi seperti plot, tokoh, latar, dan sebagainya, tidak akan saya bahas. Maaf ya!
2. Saat saya membahas sebuah alat, saya akan bagi dalam dua sudut pandang, sudut pandang pembaca dan sudut pandang pengarang.
3. Ngapain nih ada yang ketiga. Hapus-hapus.
Ayo kita mulai!

Kesatupaduan
Sastra adalah seni yang diatur. Setiap bahan dan materi di dalamnya telah terpilih dan telah tertimbang. Setiap bahan itu mempunyai fungsi yang pasti, tidak keluar dari keseluruhan. Coba lihat tubuh kita. Bukankah setiap yang ada di tubuh kita mempunyai perannya masing-masing, dan masing-masing berkontribusi untuk keseluruhan struktur dan fungsi tubuh kita? Jika satu saja fungsi tercabut, misal fungsi pencernaan, hal itu akan mengganggu jalan dan efektifitas fungsi yang lainnya.
Begitu juga sastra. Setiap unsur melekat satu sama lain, tak terpisahkan dan tak tergantikan. Ini adalah dasar dalam kesusastraan, juga dasar bagi kritik sastra strukturalisme (Kamil: xxv). Jika satu saja unsur dihilangkan atau diubah, akan memengaruhi dan mengubah keseluruhan karya itu sebagai sebuah sastra. Kalau dipaksakan, karya tersebut akan pincang dan berlubang.
Dengan bersama yang lain, kita menjadi kuat. Dengan bersama yang lain, kita mampu melakukan hal yang lebih besar dari akumulasi laku yang kita kerjakan sendiri-sendiri. Di sastra juga seperti itu. Efek emosi dan estetika dalam suatu karya akan jadi lebih dalam dan kuat, karena didukung dan dikuatkan oleh bagian lain dari karya tersebut.

Sudut pandang pembaca
Ketika kita meneliti suatu karya, kita harus selalu melihat pada fungsi keseluruhan. Kalau perlu, buat catatan pada setiap yang kalian temui, pada setiap emosi yang kalian rasakan pada bagian tertentu, dan bagaimana efeknya di bagian yang lain. Kalian harus siap untuk setiap kejutan. Bisa jadi sesuatu yang terlihat tidak penting, malah jadi sangat signifikan untuk fungsi keseluruhan. Pertanyakan segala sesuatu, buat asumsi sendiri, kemudian bandingkan dengan jawaban yang sebenarnya.
Misalnya, kisah tentang seorang yang tidak pernah beruntung dalam hidupnya. Kemudian orang itu bergumam sendiri tentang hidupnya yang malang. Nah gumamannya ini bisa jadi merupakan petunjuk akan hal yang akan terjadi. Terus jeli dan jangan tertipu. Tebaklah ironi apa yang menanti orang yang bergumam tentang hidupnya ini. Mungkinkah ada sebuah rencana besar dari Tuhan untuk dirinya? Atau mungkin inilah tragedi dunia, yang dijelaskan melalui kata-kata orang ini tadi? Pokoknya, catat semua yang terpikir oleh kalian tentang apa makna gumamannya tadi. Asumsi kalian bisa jadi benar, bisa jadi salah. Jika sampai akhir kalian tidak menemukan makna dibentuknya adegan tadi, maka karya tersebut mempunyai lubang. Kalian bisa melakukan kritik atas bagian yang berlubang tadi, sesuatu yang hadir tanpa mewakili makna apapun.
Hal ini juga berlaku untuk semua yang ada di dalam sastra. Tanyakan kenapa seorang tokoh berperilaku seperti ini. Tanyakan juga kenapa tempat suatu kejadian berada di tempat yang demikian. Tanyakan, buat catatan, dan bandingkan dengan yang sudah kalian temui di bagian yang lain.

Sudut pandang pengarang
Nah, kalau kalian sendiri yang ingin membentuk rancangan suatu karya sastra, selalu ingatlah akan hal-hal ini. Pertama, kalian harus selalu melihat pada garis besar, pada tema pemersatu, pada emosi sentral yang ingin kalian sajikan, dan jangan pernah keluar dari itu. Jangan pernah tergoda untuk menambahkan hal-hal di luar yang sudah kalian rencanakan. Beneran deh, itu hanya akan merusak karya kalian. Pikirkan matang-matang apa saja yang penting, dan bagaimana itu disajikan. Gunakan alat bantu, semisal catatan, untuk mengingatkan kalian agar tidak keluar jalur.
T : Beneran gak boleh ya, memiliki lebih dari satu tema dan emosi dalam membentuk sastra?
J : Boleh saja. Tapi tetap harus ada tema dan emosi sentral, dan tema dan emosi yang lain tidak boleh sampai mendominasi dan mengimbangi tema dan emosi utama tadi. Kalau itu terjadi, karya kalian akan pecah jadi beberapa bagian. Malah, satu bagian akan bisa dibaca dan dimengerti tanpa membaca dan mengerti bagian yang lain, dan itu akan mengurangi kesatupaduan suatu karya.
Kedua, selalu perkuat karya kalian. Gunakan perekat yang kuat untuk saling menghubungkan bagian-bagian dalam karya yang kalian buat, jangan merekatkan pake nasi (halah, apa bae dah ah!). Bagian-bagian yang penting dalam karya kalian, harus kalian tambahkan pendukung dan penopang agar kuat. Kalau bisa, bagian pendukung itu kalian jadikan bagian yang penting juga, dan didukung oleh bagian penting yang lain.
Misalnya, kita buat cerita tentang anak miskin yang ingin menjadi seorang dokter. Tema utamanya berarti, “Apapun tantangan yang datang, kita harus selalu tegar dan tidak menyerah dalam menghadapinya”. Untuk itu, kita butuh tokoh utama yang tegar, pantang menyerah, dan bangga ketika berhasil dengan kemampuannya sendiri. Setelah itu, kita rincikan bagaimana sang tokoh utama mempunyai kepribadian seperti itu. Tentunya akan ada keadaan dan situasi tertentu yang membentuk kepribadian sang tokoh utama. Sang tokoh utama kita tempatkan pada situasi masyarakat yang lembam. Masyarakat di tempat dia tinggal tidak pernah mau berusaha lebih keras untuk menggapai apa yang mereka inginkan. Hal itu bukan sebuah dosa, tetapi sang tokoh utama sangat membenci hal itu dan ingin mengubahnya.
Lalu kita tambahkan bahwa sang tokoh utama mempunyai ayah yang galak dan tegas, juga mempunyai prinsip yang tidak boleh ditentang. Ayahnya sangat menentang keinginan sang anak untuk pergi dari desa dan belajar menjadi dokter. Ini merupakan halangan bagi cita-cita sang anak dan akan menyebabkan konflik emosi baik bagi sang anak maupun ayahnya. Nah, bagian pendukung seperti ini, buatlah juga menjadi bagian yang penting bagi perkembangan plot. Misalnya, ayah sang anak akhirnya setuju, karena diingatkan oleh situasi sang anak, akan cita-cita dan harapannya sendiri, dan bagaimana sakitnya ketika harapannya dipupus oleh kenyataan dan realita sosial yang menghalangi.
Ini akan menguatkan cerita secara keseluruhan. Plot akan dikuatkan oleh penokohan sang tokoh utama yang kental. Penokohan sang tokoh utama juga dikuatkan oleh latar dan situasi. Latar dan situasi juga menguatkan dan dikuatkan oleh plot lain, yaitu masa lalu sang ayah. Lalu plot sang ayah ini juga turut menguatkan plot utama, juga menguatkan penokohan sang tokoh utama tadi. Dengan begitu karya kalian akan jadi sangat kuat dan dalam. Coba saja kalau ada orang yang berani mengganti atau mengubah satu bagian saja dari cerita di atas, mereka akan kesulitan karena harus merombak dan merumuskan semuanya dari awal lagi. Semua bagian sudah sangat melekat satu sama lain, sehingga tak terpisahkan.
Selanjutnya bisa kalian terus tambahkan perekat pada semua bagian cerita kalian. Tambahkan perekat, hubungkan dengan bagian yang lain, jadikan bagian plot yang penting, tambahkan perekat lagi, dan seterusnya. Kalian pasti bisa!
Lalu saya harus ingatkan lagi agar terus melihat ke garis besar, sehingga kalian tidak pernah keluar jalur.

Emosi
Sekarang kita akan berbicara tentang emosi dalam fiksi. Emosi adalah substansi sentral dalam semua sastra, juga dalam semua fiksi. Ketika membaca sebuah karya seni dan sastra, kita menjelajahi medan emosi yang unik, yang biasanya tidak kita temui dalam kehidupan nyata. Sastra mampu menghadirkan emosi-emosi yang dalam dan sulit. Tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa seni dan sastra pada dasarnya adalah penjelajahan terhadap emosi (Oatley: 117-118, 129). Tentunya emosi-emosi ini dimediasikan kepada kita melalui bahasa, dan diberikan bentuk dan ditulis dalam media semisal buku.

Sudut pandang pembaca
Kita membaca sebuah karya sastra untuk mencecap emosi di dalamnya. Jadi, jangan terburu-buru. Berhentilah sejenak untuk meresapi tiap emosi yang kalian temui. Kenali jenis apa emosi itu. Bandingkan juga, mungkin dengan pengalaman kalian sendiri. Jika itu kalian lakukan, rasa emosi yang kalian rasakan akan lebih menusuk. Rasakan dan resapi.
Kemudian, seperti di atas tadi, buat catatan tentang emosi yang kalian rasakan di suatu titik tertentu. Jika ada suatu keadaan, yang seharusnya kalian merasakan suatu emosi tertentu, tetapi ternyata emosi itu tidak datang atau tidak cukup kuat, pertanyakan kenapa bisa seperti itu. Apa yang kurang. Lubang apa yang harus ditambal. Lalu jika ternyata emosi itu hadir di tempat lain, kalian harus melihat lagi ke belakang, dan bandingkan dengan saat emosi itu tidak bisa hadir di hati kalian. Apakah pengarang sengaja melakukannya? Kalian juga harus pertanyakan hal itu. Rasakan, catat, dan bandingkan.
Kemudian bandingkan juga dengan tema utama dalam karya yang kalian baca. Apakah emosi yang dihadirkan sudah sesuai dengan tema yang ditekankan? Apakah keduanya sudah mendukung satu sama lain? Kalau tidak, pertanyakan kenapa.

Sudut pandang pengarang
Ada beberapa trik yang bisa kalian gunakan untuk menghadirkan emosi dalam karya kalian.
Pertama, gunakan bahasa yang tidak biasa.
Sastra adalah distorsi keindahan dari bahasa. Sastra mempergunakan penyelewengan dalam berbahasa untuk menampilkan keindahan. Karena itu bahasa yang digunakan dalam sastra adalah bahasa yang aneh-aneh. Perlu diketahui, bahwa penggunaan bahasa yang aneh ini akan lebih mengalihkan perhatian orang kepadanya daripada penggunaan bahasa yang biasa. Orang yang membaca sastra menjadi lebih menyadari apa yang dibacanya, karena bahasa yang dipakai bukan bahasa yang biasa dia gunakan dalam percakapan sehari-hari. Hal ini adalah prinsip dasar dalam bersastra, yaitu membuat perhatian pembaca lebih teralihkan kepada apa yang hendak disampaikan (Oatley: 74).
Saat hendak menyampaikan emosi tertentu melalui sastra, terlebih dahulu kita harus siasati agar perhatian pembaca lebih teralihkan. Karena jika seseorang membaca kisah dengan perhatian setengah-setengah, tanpa konsentrasi tinggi, dia tidak akan menyerap semua makna dan emosi dari apa yang dibacanya.
Maka dari itu, selalu gunakan bahasa yang tidak biasa di setiap titik yang ingin kalian tekankan. Misalnya, daripada menggunakan kata-kata “sampai akhir hayat” yang sudah terlalu biasa, mending gunakan kata-kata “hingga zaman tak lagi berdetak” yang jarang orang gunakan.
Kedua, gunakan pembandingan dan persandingan.
Segala sesuatu itu mendapat nilainya dalam hubungannya dengan yang lain. Kita dapat mengingat sesuatu dengan lebih jelas, karena kita mengingat polanya kemudian membandingkan dengan pola sesuatu yang lain, baik yang sama maupun bertentangan dengannya. Ini adalah dasar dalam teori nilai De Saussure. Dan hal ini juga sangat bisa diterapkan pada pembentukan karya sastra.
Coba bayangkan ada sepuluh anak, sembilan berbadan kurus, dan satu anak berbadan gemuk. Kira-kira, anak yang gemuk ini gampang diingat atau tidak? Tentu saja dia akan jadi anak yang paling gampang diingat, karena dia dinilai dan ditimbang dalam hubungannya dengan sembilan anak yang lain yang lebih kurus dari dia. Sembilan anak yang lain akan lebih sulit diingat, karena mereka memiliki pola yang sama yang tidak kontras satu sama lain.
Kita mengenal kata “keadilan” dan memahami batasan-batasannya, karena kita membandingkan dengan lawan katanya, yaitu “ketidakadilan”. Kita memberi pola pada pengertian yang ingin kita pahami, dan membandingkannya dengan pola pada pengertian yang lain. Kita memahami dunia, karena kita memahami hubungan-hubungan antara unsur-unsur di dalamnya.
Cukup. Sekarang saatnya menerapkan teori nilai ini pada pembentukan karya sastra. Coba kita buat sebuah cerita, tentang seorang kakak laki-laki yang sangat sayang pada adik perempuannya. Sang kakak ini rela mengorbankan apa saja dan rela melakukan apa saja, demi kebahagiaan adiknya. Bagaimana cara kita membuat pembaca paham akan emosi sang kakak dan rasa sayangnya yang dalam kepada sang adik?
Buatlah situasi agar rasa kasih sayang ini terlihat jelas dan kontras. Misalnya, kedua kakak beradik ini kehilangan ibu kandung mereka. Mereka kemudian pindah ke rumah ayah mereka, yang telah memiliki istri yang lain. Ibu tiri mereka dan anak-anaknya sangat membenci kedua kakak beradik ini, karena bagaimanapun mereka ini adalah anak dari “wanita yang lain”. Sang kakak menjadi sangat menyayangi adiknya, karena memang tidak ada lagi yang memberikan kasih sayang kepada sang adik. Pembaca juga menjadi paham dan mengerti akan besarnya kasih sayang itu, karena pembaca melihat betapa buruknya perlakuan keluarga sang ibu tiri.
Tambahkan hal-hal lain, misalnya, gambarkan sang kakak sebagai orang yang sangat jahat, kecuali terhadap adiknya. Lalu buat adegan di mana sang adik berada dalam keadaan terjepit dan butuh bantuan. Demi adiknya, sang kakak rela menundukkan kepalanya di hadapan orang yang sangat dia benci. Sang kakak menanggalkan harga dirinya yang tinggi, mengiba dan memelas, demi memenuhi kebutuhan sang adik.
Terus buat situasi-situasi lain, agar emosi sentral yang ingin kalian hadirkan menjadi terlihat jelas dan mencolok.
Ketiga, ambil emosi dari memori.
Tahukah kalian, ketika kita membaca sebuah kisah, secara tidak sadar kita selalu membandingkan apa yang kita baca dengan apa yang ada di ingatan kita. Karena itulah, terkadang kita bisa menebak arah jalan cerita. Hal ini dikarenakan, misalnya, kejadian dalam kisah itu mirip dengan kejadian yang pernah kita alami, atau mungkin mirip dengan kejadian pada karya lain yang pernah kita baca.
Kalau kalian membuat sebuah situasi yang membangkitkan emosi, buatlah situasi itu di tempat yang agak jauh dari tempat di mana emosi itu harus hadir. Dengan begitu, pembaca jadi terpaksa secara aktif “mengambil” situasi pembangkit emosi itu dari ingatan mereka. Emosi itu menjadi seperti kenangan, bukan hal yang baru saja mereka baca. Meskipun, bisa saja situasi pembangkit emosi itu baru saja dibaca beberapa jam yang lalu.
Meski baru dibaca beberapa jam, persepsi kita tentang aliran waktu di dunia fiksi benar-benar menipu. Ini membuat kita berada dalam keadaan “hampir seperti kenangan” (Oatley: 78-79). Ini sangat sulit dijelaskan dengan kata-kata. Yang jelas, emosi yang hadir dengan cara mengambil pemicu emosi itu dari ingatan, adalah emosi yang sangat kuat efeknya. Kalian harus mengalami sendiri keadaan ini untuk memahami, karena saya sendiri kesulitan untuk bisa menjelaskannya dengan kata-kata.
Sekian untuk trik yang bisa kalian gunakan untuk membangkitkan emosi pada karya sastra. Kalau gak salah tadi saya hitung ada tiga cara, coba deh lihat lagi di atas. Nah trik-trik ini bisa kalian gabungkan dan kombinasikan sesuai kondisi dan tujuan kalian ketika membuat karya sastra.

Simbol
T : Apaan tuh simbol? Yang pedes-pedes yang dari cabe itu ya?
J : Itu mah sambel.
Simbol, atau lambang, atau tanda, adalah segala sesuatu yang mewakili atau merujuk sesuatu yang lain. Contoh: timbangan adalah simbol keadilan, garuda adalah lambang pancasila, menggigil adalah tanda orang kedinginan, dan sebagainya. Simbol dan teman-temannya ini bukan sesuatu yang mereka wakili atau mereka rujuk. Mereka ada untuk mewakili sesuatu yang lain, jadi sudah pasti wujud mereka berbeda dengan apa yang mereka wakili.
Bahasa yang kita gunakan juga merupakan sistem tanda. Kok bisa? Ya bisa dong. Coba deh lihat pada contoh berikut. Kata “meja” misalnya, merujuk pada meja, sebuah benda datar tempat menaruh barang yang mempunyai kaki sebagai penopangnya. Apakah kata “meja” itu sama dengan meja? Tentu tidak. Karena kata “meja” hanyalah sebuah kata, bukan berbentuk materi dan bukan merupakan benda konkret. Kata “meja” mewakili sesuatu yang lain yang bukan dirinya, yaitu meja. Karena itu, bahasa merupakan sistem tanda, karena mewakili sesuatu yang lain.
Ada sebuah disiplin ilmu yang sangat rumit mengenai tanda, yaitu ilmu semiotika. Saya tidak akan membahas hal itu di sini, karena nanti bakalan panjang banget. Kalian cukup tahu aja namanya, nanti bisa kalian gali sendiri ilmu tersebut.
Sekarang kembali ke pembahasan sambel, eh salah, simbol maksudnya. Manusia itu benar-benar makhluk simbol. Manusia tuh sangat kecanduan dan ketergantungan ama yang namanya simbol. Manusia hidup dengan simbol, dan memuja-mujanya bahkan melebihi hal yang diacu oleh simbol itu. Manusia mampu memanipulasi simbol-simbol, mengubah stimulus dari lingkungan di luar dirinya menjadi simbol-simbol, dan mengkomunikasikan simbol-simbol itu kepada manusia lain. Itulah sebabnya manusia disebut homo semioticus, artinya manusia tanda (Sobur: 13, 164-165).
Dikarenakan manusia sangat sensitif terhadap simbol, maka manusia akan lebih menyadari dan menghargai penggunaan sesuatu yang bersifat simbolis, daripada sesuatu yang tidak bersifat simbolis. Sekarang kita terapkan hal ini pada pengkajian dan pembentukan fiksi.

Sudut pandang pembaca
Ini bakalan lebih sulit, tapi cobalah untuk mengikuti pelan-pelan. Semua fiksi ditulis dalam simbol yang mewakili suatu makna. Ini terjadi pada setiap tingkat. Kata-kata merupakan simbol, yang mewakili makna tertentu. Kalimat juga merupakan simbol, yang mewakili kelompok makna. Paragraf, bab, dan bahkan keseluruhan fiksi juga merupakan simbol, masing-masing mewakili makna pada tingkatan yang berbeda.
Lebih lanjut lagi, plot, tokoh, latar, situasi, kejadian, dan segalanya di dalam fiksi, bisa jadi juga merupakan simbol yang merujuk pada sesuatu yang lain. Hal yang dirujuk oleh simbol-simbol abstrak ini bisa merupakan elemen internal di dalam fiksi itu sendiri, bisa juga elemen eksternal di luar fiksi tersebut.
Seorang tokoh dalam suatu fiksi, misalnya, bisa jadi merupakan simbol seorang guru. Guru tidak mesti seseorang yang berprofesi sebagai guru. Kalau tokoh yang sedang kita bicarakan ini, selalu mengajarkan dan menyarankan hal-hal yang baik, tokoh ini bisa saja dianggap orang-orang di sekitarnya sebagai seorang guru. Meski tokoh ini bukan berprofesi sebagai guru, tapi tokoh ini adalah simbol seorang guru.
Sebuah plot, misalnya lagi, bisa jadi adalah simbol dalam hal kemiripannya dengan sebuah peristiwa yang pernah benar-benar terjadi di dunia nyata. Mirip di sini bukan berarti mirip rinci kejadiannya, tetapi mirip dalam pola dan sebab akibatnya. Pengarang mungkin sengaja membuat pola plot di karyanya mirip dengan kejadian nyata, sebagai kritik atas kejadian nyata itu yang tidak disukainya. Atau, bisa juga disengaja karena kejadian nyata itu adalah kejadian yang patut dicontoh, dan pengarang ingin lebih menekankan hal ini kepada pembaca melalui karyanya.
Ketika mengkaji sebuah karya sastra, kita harus jeli melihat simbol-simbol tak terlihat di dalamnya. Simbol-simbol ini mempunyai makna tambahan selain makna yang terlihat di luar. Menemukan dan menghubungkan simbol-simbol ini dengan maknanya adalah pekerjaan sulit. Kalian harus lebih cermat dan sabar.

Sudut pandang pengarang
Gak terlalu berbeda dengan sudut pandang pembaca, cuma berarti dibalik saja. Buatlah sebanyak mungkin hal dalam karya kalian sebagai simbol, sehingga pembaca akan bisa lebih menghargainya. Sesuatu yang bersifat simbolis biasanya akan terasa memiliki kebesaran dibandingkan sesuatu yang tidak bersifat simbolis.
Kalau kalian ingin menyampaikan tema tertentu, misalnya, buatlah kejadian-kejadian yang menyimbolkan tema itu. Buat juga tokoh yang kehidupan dan perbuatannya menyimbolkan tema itu. Bisa juga kalian tambahkan latar dan situasi sosial untuk lebih menekankan simbolisasi tema yang tadi kalian ingin ungkapkan.
Sebagai contoh, coba kita tentukan sebuah tema, bahwa kita mesti melawan penindasan, apapun bentuknya dan siapapun yang melakukannya. Wujudkan seorang tokoh utama yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Kita buat penokohan tokoh ini mencolok dan kontras dengan menempatkannya dalam situasi masyarakat di mana yang kuat selalu menindas yang lemah.
Bahkan ketika dunia di sekitarnya begitu menyeleweng, sang tokoh utama tetap teguh pada prinsip-prinsipnya. Sang tokoh utama terus berjuang, dengan caranya sendiri, untuk melawan penindasan dan ketidakadilan di sekitarnya. Dia melakukan gerakan-gerakan bawah tanah, dan membentuk organisasi anti-pemerintah guna memberontak terhadap sistem pemerintah yang sangat lalim itu. Meski di akhir kisah sang tokoh utama itu tertangkap dan dihukum mati, tapi dia telah menjadi simbol perjuangan melawan penindasan, dan menginspirasi banyak orang untuk mengikuti jejaknya.
Setelah plot dan tokoh utama sudah menyimbolkan tema, kita tambahkan lagi beberapa simbol. Misalnya, buat kejadian singkat tentang seorang kakek tua yang memoles perabot mewah milik majikannya. Kejadian ini menyimbolkan sebuah kenyataan pahit, bahwa segala kemewahan yang ada di dunia dibentuk dari darah dan air mata begitu banyak rakyat miskin. Orang-orang miskin diperah hingga kering, dan hasilnya adalah barang-barang mewah di rumah orang-orang kaya.
Setelah itu kalian bisa kreasikan sendiri sesuka hati kalian. Jangan lupa untuk juga untuk mengkombinasikan dengan unsur kesatupaduan dan emosi yang di atas sudah kita bahas.


Mengkaji fiksi sangat menguras mental, mengarangnya lebih-lebih lagi. Ketika kita membaca fiksi, kita seakan mengalami perjalanan ke alam mimpi. Tapi mimpi itu adalah mimpi orang lain. Kita sendiri juga bisa bermimpi dan mewujudkannya dalam sebuah karya, sehingga orang lain bisa mengalami mimpi yang kita impikan. Pelajarilah dengan melakukan. Semakin banyak kalian mengkaji dan mengarang fiksi, kalian akan semakin baik melakukannya. Barangkali kalian akan bisa menemukan metode kalian sendiri.
Sekian, semoga kita bertemu lagi di lain kesempatan.

Wassalamu ‘Alaikum Wr. Wb.


Sumber:
Alex Sobur. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA.
Burhan Nurgiyantoro. 2012. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Oatley, Keith. 2011. Such Stuff as Dreams: the Psychology of Fiction. United Kingdom: Wiley-Blackwell.
Sukron Kamil. 2009. Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar